Senin, 11 Februari 2008

Jumat, 25 Januari 2008

Minggu, 13 Januari 2008

LAKU SPIRITUAL PAK HARTO Padepokan Jambe Pitu Dibersihkan

SEJUMLAH warga sejak Sabtu lalu bersih-bersih di sekitar kompleks padepokan Jambe Pitu Gunung Selok, Adipala, Cilacap. Akan ada tamu agung dari Semarang, kata mereka. Tamu itu adalah keluarga besar almarhum RP Soediyat Prawiro Koesoemo atau dikenal dengan sebutan Rama Diyat, pendiri padepokan tersebut. Tamu itu akan melakukan ziarah. Tidak jelas apakah di antara tamu itu ada utusan Cendana atau keluarga Soeharto atau tidak, namun kedatangan keluarga Rama Diyat itu dinilai tidak seperti biasanya.
Padepokan Jambe Pitu dikenal sebagai salah satu tempat yang sering dikunjungi Pak Harto ketika masih berkuasa. Momentum yang dimanfaatkan biasanya pada setiap bulan Sura. Tempat keramat itu berada di Desa Karangbenda Kecamatan Adipala, Cilacap atau sekitar 30 km dari Kota Cilacap. Kompleks ini dibuka sejak 18 Juni 1958. Terbagi atas Sanggar Pamujan, Sanggar Palereman Kakung, Sanggar Palereman Putri dan Sanggar Supersemar, yang semuanya menjadi saksi bisu laku spritual Soeharto.
Salah satu bukti lain Soeharto sering datang ke Gunung Selok, di sekitar kompleks Padepokan Jambe Pitu terdapat lokasi bekas helipad atau tempat pendaratan helikopter. Hanya, setelah Pak Harto lengser, lokasi itu tampak tak terurus. Dulu, setiap mengunjungi Jambe Pitu, Soeharto tidak menggunakan jalan darat yang berliku-liku mengitari Gunung Selok. Namun memilih menggunakan helikopter dan langsung mendarat di sekitar padepokan.
”Jadi dulu masyarakat sini jarang bisa langsung melihat wajah Pak Harto. Apalagi kompleks padepokan selalu dijaga ketat apabila Pak Harto datang ke Selok,” ujar Sankarta warga Karang Benda.
Sebagai tempat semedi, Padepokan Jambe Pitu cukup memenuhi syarat karena lokasinya berada di bukit paling selatan Gunung Selok dengan ketinggian 150 meter di atas permukaan laut. Lokasinya yang terlindung hutan membuat suhu udara di tempat itu berkisar 20-30 derajat celcius. Apalagi dari kompleks ini kita bisa mendengar gempuran-gempuran ombak laut Selatan dan ke bawah dengan menuruni bukit dapat menjangkau muara Bengawan Adiraja yang terdapat sejumlah goa. Goa ini masih menyimpan banyak misteri.
Misalnya Goa Rahayu, Nagaraja, Lawa, Sribolong, Putih, dan Goa Tikus. Konon, setiap kali bersemedi di Gunung Selok, Soeharto selalu menuruni bukit itu untuk mengambil air suci di Goa Rahayu. Menurut Darjito, ketika Rama Diyat masih hidup, Padepokan Jambe Pitu ini banyak dikunjungi peziarah. Sehingga, praktis pada bulan Sura sering digunakan untuk pasewakan agung alias pertemuan besar bagi keluarga Selok. Sejak Rama Diyat meninggal jumlah pengunjung padepokan itu terus menyusut. Apalagi Mbah Tomo yang ditunjuk Rama Diyat sebagai pengurus padepokan menyusul meninggal, membuat keagungan padepokan Jambe Pitu memudar.
”Sekarang ini kalau Sura sepi sekali,” ujar Ny Sutinem pemilik warung di sekitar parkiran Jambe Pitu. Seperti malam 1 Sura kemarin, suasana padepokan terlihat lengang. Kalaupun ada pengunjung hanya untuk berwisata.
”Justru yang ramai sekarang ada di sekitar padepokan Jambe Lima,” lanjutnya. Padepokan Jambe Lima adalah tempat keramat lain di Gunung Selok yang lokasinya berada di sebelah Utara Padepokan Jambe Pitu. Pada peringatan 1 Sura lalu, atau malam Jumat ribuan keluarga besar Jambe Lima mengadakan ritual Suran dengan menggelar pula wayang kulit.
Sebenarnya tidak hanya Gunung Selok yang sering dikunjungi Soeharto, dulu. Tetapi Gunung Srandil yang berlokasi di sebelah Timur Gunung Selok pun sering dikunjungi Soeharto. Terutama padepokan Langlang Buana yang berlokasi di puncak Gunung Srandil. Begitu pula dengan pulau Majeti yang berada di sebelah Selatan Nusakambangan tempat bersemayam kembang Wijaya Kusuma. Konon dulu Pulau Majeti sering dijadikan tempat semedi raja-raja Solo untuk melanggengkan posisinya.